Rumah Adat Minang Kabau " Rumah Gadang "


Bicara tentang rumah adat mungkin kalian sudah pada tahu bentuk-bentuk rumah adat yang ada di Indonesia. Kali ini saya akan membahas tentang rumah adat Minang Kabau yang lebih dikenal dengan sebutan rumah gadang.

Arsitekur

Masyarakat Minangkabau sebagai suku bangsa yang menganut falsafah “alam takambang jadi guru”, jadi orang minnag kabau menyelaraskan kehidupan pada susunan alam yang harmonis tetapi juga dinamis, sehingga kehidupannya menganut teori dialektis, yang mereka sebut “bakarano bakajadian” ada sebab maka ada akibat yang menimbulkan berbagai pertentangan dan keseimbangan.

Buah karyanya yang menumental seperti rumah gadang itu pun mengandung rumusan falsafah itu. Bentuk dasarnya, rumah gadang itu persegi empat yang tidak simetris yang mengembang ke atas.

Atapnya melengkung tajam seperti bentuk tanduk kerbau, sedangkan lengkung badan rumah Iandai seperti badan kapal. Bentuk badan rumah gadang yang segi empat yang membesar ke atas (trapesium terbalik) sisinya melengkung kedalam atau rendah di bagian tengah, secara estetika merupakan komposisi yang dinamis. Jika dilihat pula dari sebelah sisi bangunan (penampang), maka segi empat yang membesar ke atas ditutup oleh bentuk segi tiga yang juga sisi segi tiga itu melengkung ke arah dalam, semuanya membentuk suatu keseimbangan estetika yang sesuai dengan ajaran hidup mereka.

Sebagai suku bangsa yang menganut falsafah alam, garis dan bentuk rumah gadangnya kelihatan serasi dengan bentuk alam Bukit Barisan yang bagian puncaknya bergaris lengkung yang meninggi pada bagian tengahnya serta garis lerengnya melengkung dan mengembang ke bawah dengan bentuk bersegi tiga pula. Jadi, garis alam Bukit Barisan dan garis rumah gadang merupakan garis-garis yang berlawanan, tetapi merupakan komposisi yang harmonis jika dilihat secara estetika. Jika dilihat dan segi fungsinya, garis-garis rumah gadang menunjukkan penyesuaian dengan alam tropis. Atapnya yang lancip berguna untuk membebaskan endapan air pada ijuk yang berlapis-lapis itu, sehingga air hujan yang betapa pun sifat curahannya akan meluncur cepat pada atapnya.

Bangun rumah yang membesar ke atas, yang mereka sebut silek, membebaskannya dan terpaan tampias. Kolongnya yang tinggi memberikan hawa yang segar, terutama pada musim panas. Di samping itu rumah gadang dibangun berjajaran menurut arah mata angin dari utara ke selatan guna membebaskannya dari panas matahari serta terpaan angin. Jika dilihat secara keseluruhan, arsitektur rumah gadang itu dibangun menurut syarat-syarat estetika dan fungsi yang sesuai dengan kodrat atau yang mengandung nilai-nilai kesatuan, kelarasan, keseimbangan, dan kesetangkupan dalam keutuhannya yang padu.

Ragam Rumah Gadang

Rumah gadang mempunyai nama yang beraneka ragam menurut bentuk, ukuran, serta gaya kelarasan dan gaya luhak. Menurut bentuknya, ia lazim pula disebut rumah adat, rumah gonjong atau rumah bagonjong (rumah bergonjong), karena bentuk atapnya yang bergonjong runcing menjulang. Jika menurut ukurannya, ia tergantung pada jumlah lanjarnya. Lanjar ialah ruas dari depan ke belakang. Sedangkan ruangan yang berjajar dari kiri ke kanan disebut ruang. Rumah yang berlanjar dua dinamakan lipek pandan (lipat pandan). Umumnya lipek pandan memakai dua gonjong. Rumah yang berlanjar tiga disebut balah bubuang (belah bubung). Atapnya bergonjong empat. Sedangkan yang berlanjar empat disebut gajah maharam (gajah terbenam). Lazimnya gajah maharam memakai gonjong enam atau lebih.

a. Koto Piliang
Menurut gaya kelarasan, rumah gadang aliran Koto Piliang disebut sitinjau lauik. Kedua ujung rumah diberi beranjung, yakni sebuah ruangan kecil yang lantainya lebih tinggi. Karena beranjung itu, ia disebut juga rumah baanjuang (rumah barpanggung). Rumah gadang kaum ini menurut tipe rumah gadang Koto Piliang, yaitu memakai anjung pada kedua ujung rumahnya


b. Bodi Chaniago
 Disebut rumah gadang. Bangunannya tidak beranjung atau berserambi sebagai mana rumah dan aliran Koto Piliang, seperti halnya yang terdapat di Luhak Agam dan Luhak Lima Puluh Koto.

Pada umumnya rumah gadang itu mempunyai satu tangga, yang terletak di bagian depan. Letak tangga rumah gadang rajo babandiang dari Luhak Lima Puluah Koto di belakang. Letak tangga rumah gadang surambi papek dari Luhak Agam di depan sebelah kiri antara dapur dan rumah. Rumah gadang si tinjau lauik atau rumah baanjuang dan tipe Koto Piiang mempunyai tangga di depan dan di belakang yang letaknya di tengah. Rumah gadang yang dibangun baru melazimkan letak tangganya di depan dan di bagian tengah.

Dapur dibangun terpisah pada bagian belakang rumah yang didempet pada dinding. Tangga rumah gadang rajo babandiang terletak antara bagian dapur dan rumah. Dapur rumah gadang surambi papek, dibangun terpisah oleh suatu jalan untuk keluar masuk melalui tangga rumah.

Fungsi Rumah Gadang

Rumah gadang dikatakan gadang (besar) bukan karena fisiknya yang besar, melainkan karena fungsinya.
1.  sebagai tempat kediaman keluarga
2. sebagai lambang kehadiran suatu kaum 
3. sebagai pusat kehidupan dan kerukunan, seperti tempat bermufakat dan melaksanakan  berbagai upacara
4. sebagai tempat merawat anggota keluarga yang sakit.

Sebagai tempat tinggal bersama, rumah gadang mempunyai ketentuan-ketentuan tersendiri. Setiap perempuan yang bersuami memperoleh sebuah kamar. Perempuan yang termuda memperoleh kamar yang terujung. Pada gilirannya ia akan berpindah ke tengah jika seorang gadis memperoleh suami pula. Perempuan tua dan anak-anak memperoleh tempat di kamar dekat dapur. Sedangkan gadis remaja memperoleh kamar bersama pada ujung yang lain. Sedangkan laki-laki tua, duda, dan bujangan tidur di surau milik kaumnya masing-masing. Penempatan pasangan suami istri baru di kamar yang terujung, ialah agar suasana mereka tidak terganggu kesibukan dalam rumah. Demikian pula menempatkan perempuan tua dan anak-anak pada suatu kamar dekat dapur ialah karena keadaan fisiknya yang memerlukan untuk turun naik rumah pada malam hari.

Sebagai tempat bermufakatan, rumah gadang merupakan bangunan pusat dari seluruh anggota kaum dalam membicarakan masalah mereka bersama.

Sebagai tempat melaksanakan upacara, rumah gadang menjadi penting dalam meletakkan tingkat martabat mereka pada tempat yang semestinya. Di sanalah dilakukan penobatan penghulu. Di sanalah tempat pusat perjamuan penting untuk berbagai keperluan dalam menghadapi orang lain dan tempat penghulu menanti tamu-tamu yang mereka hormati.

Sebagai tempat merawat keluarga, rumah gadang berperan pula sebagai rumah sakit setiap laki-laki yang menjadi keluarga mereka. Seorang laki-laki yang diperkirakan ajalnya akan sampai akan dibawa ke rumah gadang atau ke rumah tempat ia dilahirkan. Dan rumah itulah ia akan dilepas ke pandam pekuburan bila ia meninggal. Hal ini akan menjadi sangat berfaedah, apabila laki-laki itu mempunyai istri lebih dari seorang, sehingga terhindarlah perseng ketaan antara istri-istrinya.

Umumnya rumah gadang didiami nenek, ibu, dan anak-anak perempuan. Bila rumah itu telah sempit, rumah lain akan dibangun di sebelahnya. Andai kata rumah yang akan dibangun itu bukan rumah gadang, maka lokasinya di tempat yang lain yang tidak sederetan dengan rumah gadang.

Fungsi Bagian Rumah

Rumah gadang terbagi atas bagian-bagian yang masing-masing mempunyai fungsi khusus. Seluruh bagian dalam merupakan ruangan lepas, terkecuali kamar tidur. Bagian dalam terbagi atas lanjar dan ruang yang ditandai oleh tiang. Tiang itu berbanjar dari muka ke belakang dan dari kiri ke kanan. Tiang yang berbanjar dari depan ke belakang menandai lanjar, sedangkan tiang dari kiri ke kanan menandai ruang. Jumlah lanjar tergantung pada besar rumah, bisa dua, tiga, dan empat. Ruangnya terdiri dari jumlah yang ganjil antara tiga dan sebelas.

Lanjar yang terletak pada bagian dinding sebelah belakang biasa digunakan untuk kamar-kamar. Jumlah kamar tergantung pada jumlah perempuan yang tinggal di dalamnya. Kamar itu umumnya kecil, sekadar berisi sebuah tempat tidur, lemari atau peti dan sedikit ruangan untuk bergerak. Kamar memang digunakan untuk tidur dan berganti pakaian saja. Kamar itu tidak mungkin dapat digunakan untuk keperluan lain, karena keperluan lain harus menggunakan ruang atau tempat yang terbuka. Atau dapat diartikan bahwa dalam kehidupan yang komunalistis tidak ada suatu tempat untuk menyendiri yang memberikan kesempatan pengembangan kehidupan yang individual. Kamar untuk para gadis ialah pada ujung bagian kanan, jika orang menghadap ke bagian belakang. Kamar yang di ujung kiri, biasanya digunakan pengantin baru atau pasangan suami istri yang paling muda. Meletakkan mereka di sana agar mereka bisa terhindar dari hingar-bingar kesibukan dalam rumah. Kalau rumah mempunyai anjung, maka anjung sebelah kanan merupakan kamar para gadis. Sedangkan anjung sebelah kiri digunakan sebagai tempat kehormatan bagi penghulu pada waktu dilangsungkan berbagai upacara. Pada waktu sehari-harii anjung bagian kin itu digunakan untuk meletakkan peti-peti penyimpanan barang berharga milik kaum.

Lanjar kedua merupakan bagian yang digunakan sebagai tempat khusus penghuni kamar. Misalnya, tempat mereka makan dan menanti tamu masing masing. Luasnya seluas lanjar dan satu ruang yang berada tepat di hadapan kamar mereka.

Lanjar ketiga merupakan lanjar tengah pada rumah berlanjar empat dan merupakan lanjar tepi pada rumah belanjar tiga. Sebagai lanjar tengah, ia digunakan untuk tempat menanti tamu penghuni kamar masing-masing yang berada di ruang itu. Kalau tamu itu dijamu makan, di sanalah mereka ditempatkan. Tamu akan makan bersama dengan penghuni kamar serta ditemani seorang dua perempuan tua yang memimpin rumah tangga itu. Perempuan lain yang menjadi ahli rumah tidak ikut makan. Mereka hanya duduk-duduk di lanjar kedua menemani dengan senda gurau. Kalau di antara tamu itu ada laki-laki, maka mereka didudukkan di sebelah bagian dinding depannya, di sebelah bagian ujung rumah. Sedangkan ahli rumah laki-laki yang menemani nya berada di bagian pangkal rumah. Sedangkan ahli rumah laki-laki yang menemaninya berada di bagian pangkal rumah. Pengertian ujung rumah di sini ialah kedua ujung rumah. Pangkal rumah ialah di bagian tengah, sesuai dengan letak tiang tua, yang lazimnya menupakan tiang yang paling tengah.

Lanjar tepi, yaitu yang terletak di bagian depan dinding depan, merupakan lanjar terhormat yang lazimnya digunakan sebagai tempat tamu laki-laki bila diadakan perjamuan.
Ruang rumah gadang pada umumnya terdiri dari tiga sampai sebelas lanjar. Fungsinya selain untuk menentukan kamar tidur dengan wilayahnya juga sebagai pembagi atas tiga bagian, yakni bagian tengah, bagian kiri, dan bagian kanan, apabila rumah gadang itu mempunyai tangga di tengah, baik yang terletak di belakang maupun di depan. Bagian tengah digunakan untuk tempat jalan dari depan ke belakang. Bagian sebelah kiri atau kanan digunakan sebagai tempat duduk dan makan, baik pada waktu sehari-hari maupun pada waktu diadakan perjamuan atau bertamu. Ruang rumah gadang surambi papek yang tangganya di sebuah sisi rumah terbagi dua, yakni ruang ujung atau ruang di ujung dan ruang pangka atau ruang di pangka (pangka = pangkal). Dalam bertamu atau perjamuan, ruang di ujung tempat tamu, sedangkan ruang di pangkal tempat ahli rumah beserta kerabatnya yang menjadi si pangkal (tuan rumah).

Kolong rumah gadang sebagai tempat menyimpan alat-alat pertanian dan atau juga tempat perempuan bertenun. Seluruh kolong ditutup dengan ruyung yang berkisi-kisi jarang.

Tata Hidup dan Pergaulan dalam Rumah Gadang

Rumah gadang sangat dimuliakan, bahkan dipandang suci. Oleh karena itu, orang yang mendiaminya mempunyai darah turunan yang murni dan kaum yang bermartabat. Stelsel matrilineal yang dianut memberi cukup peluang bagi penyegaran darah turunan ahli rumah bersangkutan, yakni memberi kemungkinan bagi pihak perempuan untuk memprakarsai suatu perkawinan dengan cara meminang seorang laki-laki pilihan. Laki-laki pilihan ditentukan kekayaannya, ilmunya dan atau jabatannya. Oleh karena jabatan penghulu itu sangat terbatas dan ditentukan dengan cara “patah tumbuh, hilang berganti”, maka orang lain akan lebih menumpu ke arah memperoleh ilmu atau kekayaan.

Sebagai perbendaharaan kaum yang dimuliakan dan dipandang suci, maka setiap orang yang naik ke rumah gadang akan mencuci kakinya lebih dahulu di bawah tangga. Di situ disediakan sebuah batu ceper yang lebar yang disebut batu telapakan, sebuah tempat air yang juga dan batu yang disebut cibuk meriau, serta sebuah timba air dari kayu yang bernama taring berpanto.

Perempuan yang datang bertamu akan berseru di halaman menanyakan apakah ada orang di rumah. Kalau yang datang laki-laki, ia akan mendeham lebih dahulu di halaman sampai ada sahutan dan atas rumah. Laki-laki yang boleh datang ke rumah itu bukanlah orang lain. Mereka adalah ahli rumah itu sendiri, mungkin mamak rumah, mungkin orang semenda, atau laki-laki yang lahir di rumah itu sendiri yang tempat tinggalnya di rumah lain. Jika yang datang bertamu itu  tungganai, ia didudukkan di lanjar terdepan pada ruang sebelah ujung di hadapan kamar gadis-gadis. Kalau yang datang itu ipar atau besan, mereka ditempatkan di lanjar terdepan tepat di hadapan kamar istri laki-laki yang menjadi kerabat tamu itu. Kalau yang datang itu ipar atau besan dari perkawinan kaum laki-laki di rumah itu, tempatnya pada ruang di hadapan kamar para gadis di bagian lanjar tengah. Waktu makan, ahli rumah itu tidak serentak. Perempuan yang tidak bersuami makan di ruangan dekat dapur. Perempuan yang bersuami makan bersama suami masing-masing di ruang yang tepat di hadapan kamarnya sendiri. Kalau banyak orang semenda di atas rumah, maka mereka akan makan di kamar masing-masing. Makan bersama bagi ahli rumah itu hanya bisa terjadi pada waktu kenduri yang diadakan di rumah itu.

Kalau ada ipar atau besan yang datang bertamu, mereka akan selalu diberi makan. Waktu makan para tamu tidaklah ditentukan. Pokoknya semua tamu harus diberi makan sebelum mereka pulang ke rumah masing-masing. Yang menemani tamu pada waktu makan ialah kepala rumah tangga, yaitu perempuan yang dituakan di rumah itu. Perempuan yang menjadi istri saudara atau anak laki-laki tamu itu bertugas melayani. Sedangkan perempuan perempuan lain hanya duduk menemani tamu yang sedang makan itu. Mereka duduk pada lanjar bagian dinding kamar.

Para tamu datang pada waktu tertentu, lazimnya pada hari baik bulan baik, umpamanya pada hari yang dimuliakan seperti hari-hari besar Islam atau dalam hal urusan perkawinan. Kaum keluarga sendiri yang datang untuk mengikuti permufakatan tentang berbagai hal tidak diberi makan. Hanya sekadar minum dengan kue kecil. Bertamu di luar hal itu dinamakan bertandang sekadar untuk berbincang-bincang melepas rindu antara orang bersaudara atau bersahabat.

Orang laki-laki yang ingin membicarakan suatu hal dengan ahli rumah yang laki-laki, seperti semenda atau mamak rumah itu, tidak lazim melakukannya dalam rumah gadang. Pertemuan antara laki-laki tempatnya di mesjid atau surau, di pemedanan atau gelanggang, di balai atau di kedai. Adalah janggal kalau tamu laki-laki dibawa berbincang-bincang di rumah kediaman sendiri.

Tata Cara Mendirikan Rumah Gadang

Sebagai milik bersama, rumah gadang dibangun di atas tanah kaum cara bergotong-royong sesama mereka serta dibantu kaum yang lain. Ketentuan adat menetapkan bahwa rumah gadang yang bergonjong empat dan selebihnya hanya boleh didirikan pada perkampungan yang berstatus nagari atau koto. Di perkampungan yang lebih kecil, seperti dusun atau lainnya, hanya boleh didirikan rumah yang bergonjong dua. Di teratak tidak boleh didirikan rumah yang bergonjong. Jadi asas gotong royong sudah lama diterapkan dalam kehidupan masyarakat Minangkabau.

Himpunan orang sekaum yang lebih kecil dan suku, seperti kaum sepayung, kaum seperut, atau kaum seindu, dapat pula mendirikan rumah gadang masing-masing.
Pendirian rumah gadang itu dimulai dengan permufakatan orang yang sekaum. Dalam mufakat itu dikajilah patut tidaknya maksud itu dilaksanakan, jika dilihat dari kepentingan mereka dan ketentuan adat. Juga dikaji letak yang tepat serta ukurannya serta kapan dimulai mengerjakannya. Hasil mufakat itu disampaikan kepada penghulu suku. Kemudian penghulu suku inilah yang menyampaikan rencana mendirikan rumah gadang itu kepada penghulu suku yang lain.

Semua bahan yang diperlukan, seperti kayu dan ijuk untuk atap, diambil dari tanah ulayat kaum oleh ahlinya. Setelah kayu itu ditebang dan dipotong menurut ukurannya, lalu seluruh anggota kaum secara beramai-ramai membawanya ke tempat rumah gadang itu akan didirikan. Orang-orang dari kaum dan suku lain akan ikut membantu sambil membawa alat bunyi-bunyian untuk memenahkan suasana. Sedangkan kaum perempuan membawa makanan. Peristiwa ini disebut acara maelo kayu (menghela kayu).

Pekerjaan mengumpulkan bahan akan memakan waktu yang lama. Kayu untuk tiang dan untuk balok yang melintang terlebih dahulu direndam ke dalam lunau atau lumpur yang airnya terus berganti agar kayu itu awet dan tahan rayap. Demikian pula bambu dan ruyung yang akan digunakan. Sedangkan papan dikeringkan tanpa kena sinar matahari.

Bila bahan sudah cukup tersedia, dimulailah mancatak tunggak tuo, yaitu perkerjaan yang pertama membuat tiang utama. Kenduri pun diadakan pula khusus untuk hal ini. Sejak itu mulailah para ahli bekerja menurut kemampuan masing-masing. Tukang yang dikatakan sebagai ahli ialah tukang yang dapat memanfaatkan sifat bahan yang tersedia menurut kondisinya, Indak tukang mambuang kayu (tidak tukang membuang kayu), kata pituah mereka. Sebab, setiap kayu ada manfaatnya dan dapat digunakan secara tepat

Selanjutnya pada setiap pekerjaan yang memerlukan banyak tenaga, seperti ketika batagak tunggak (menegakkan tiang), yaitu pekerjaan mendirikan seluruh tiang dan merangkulnnya dengan balok-balok yang tersedia, diadakan pula kenduri dengan maimbau (memanggil) semua orang yang patut diundang. Demikian pula pada waktu manaikkan kudo-kudo (menaikkan kuda-kuda) kenduri pun diadakan lagi dengan maksud yang sama.Apabila rumah itu selesai diadakan lagi perjamuan manaiki rumah (menaiki rumah) dengan menjamu semua orang yang telah ikut membantu selama ini. Pada waktu perjamuan ini semua tamu tidak membawa apa pun karena perjamuan merupakan suatu upacara syukuran dan terima kasih kepada semua orang.

Ukiran

Semua dinding rumah gadang dari papan, terkecuali dinding bagian belakang dibuat dari bambu. Papan dinding dipasang vertikal. Pada pintu dan jendela serta pada setiap persambungan papan pada paran dan bendul terdapat papan bingkai yang lurus dan juga berelung. Semua papan yang menjadi dinding dan menjadi bingkai diberi ukiran, sehingga seluruh dinding penuh ukiran. Ada kalanya tiang yang tegak di tengah diberi juga sebaris ukiran pada pinggangnya.

Sesuai dengan ajaran falsafah Minangkabau yang bersumber dari alam terkembang, sifat ukiran nonfiguratif, tidak melukiskan lambang-lambang atau simbol-simbol. Pada dasarnya ukiran itu merupakan ragam hias pengisi bidang dalam bentuk garis nielingkar atau persegi. Motifnya tumbuhan merambat yang disebut akar yang berdaun, berbunga, dan berbuah. Pola akar itu berbentuk Iingkaran. Akar berjajaran, berhimpitan, berjalinan, dan juga sambung-menyambung. Cabang atau ranting akar itu berkeluk ke luar, ke dalam, ke atas, dan ke bawah. Ada keluk yang searah di samping ada yang berlawanan. Seluruh bidang diisi dengan daun, bunga, dan buah.

Setiap rumah gadang mempunyai rangkiang, yang ditegakkan di halaman depan. Rangkiang ialah bangunan tempat menyimpan padi milik kaum. Ada empat macam jenisnya dengan fungsi dan bentuknya yang berbeda. Jumlah rangkiang yang tertegak di halaman memberikan tanda keadaan penghidupan kaum.

Balairung dan Masjid  


Balairung ialah bangunan yang digunakan sebagai tempat para penghulu mengadakan rapat tentang urusan pemerintah nagari dan menyidangkan perkara atau pengadilan. Bentuknya sama dengan rumah gadang, yaitu diba ngun di atas tiang dengan atap yang bergonjong-gonjong, tetapi kolongnya lebih rendah dan kolong rumah gadang. Tidak berdaun pintu dan berdaun jendela. Ada kalanya balairung itu tidak berdinding sama sekali, sehingga penghulu yang mengadakan rapat dapat diikuti oleh umum seluas-luasnya.

Balairung (Balai Adat) Dari Kelarasan Koto Piliang yang terdapat di Batipuh, beberapa Km dari Padang Panjang. Seperti dalam hal rumah gadang, maka kedua kelarasan yang berbeda aliran itu mempunyai perbedaan pula dalam bentuk balairung masing-masing. Balai rung kelarasan Koto Piliang mempunyai anjung pada kedua ujungnya dengan Iantai yang lebih tinggi. Lantai yang lebih tinggi digunakan sebagai tempat penghulu pucuk. Anjungnya ditempati raja atau wakilnya. Pada masa dahulu, lantai di tengah balairung itu diputus, agar kendaraan raja dapat langsung memasuki ruangan. Lantai yang terputus di tengah itu disebut lebuh gajah. Sedangkan balairung kelarasan Bodi Caniago tidak mempunyai anjung dan lantainya rata dan ujung ke ujung.


Balairung dari aliran ketiga, seperti yang terdapat di Nagari  tabek, Pariangan, yang dianggap sebagai balairung yang tertua, merupakan tipe lain. Balairung ini diberi labuah gajah, tetapi tidak mempunyai anjung. Bangunannya rendah dan tanpa dinding sama sekali, sehingga setiap orang dapat melihat permufakatan yang diadakan di atasnya.
Tipe lain dan balairung itu ialah yang terdapat di Nagari Sulit Air. Pada halaman depan diberi parit, sehingga setiap orang yang akan masuk ke balai rung harus melompat lebih dahulu. Pintu balairung diletakkan pada lantai dengan tangganya di kolong, sehingga setiap orang yang akan naik ke balairung itu harus membungkuk di bawah Iantai.
Balairung hanya boleh didirikan di perkampungan yang berstatus nagari. Balainya pada nagari yang penduduknya terdiri dan penganut kedua aliran kelarasan, bentuknya seperti balairung Koto Piliang, tetapi dalam persidangan yang diadakan di sana lantai yang bertingkat tidak dipakai. Ini merupakan suatu sikap toleransi yang disebutkan dengan kata “habis adat oleh kerelaan”.
 

Apabila balairung digunakan sebagai pusat kegiatan pemerintahan, maka masjid merupakan pusat kegiatan kerohanian dan ibadah. Masjid hanya boleh didirikan di nagari dan koto. Bentuk bangunannya selaras dengan rumah gadang, yakni dindingnya mengembang ke atas dalam bentuk yang bersegi empat yang sama panjang sisinya. Atapnya lancip menjulang tinggi dalam tiga tingkat. Di samping masjid, juga didapati pula semacam bangunan yang dinamakan surau. Jika masjid adalah milik nagari, maka surau adalah milik kaum. Surau digunakan juga sebagai asrama kaum laki-laki, duda, dan bujangan. Di surau itulah tiap kaum memberikan pendidikan ilmu pengetahuan kepada anak-anak muda.

Nah cukup sekian dulu tentang cerita tentang rumah gadang. Lain kali kita lanjutkan lagi... 




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kumpulan Soal Data Flow Diagram (DFD)

Sinopsis Canola ( 2016 )

Soal UAS PTSI (Pengantar Teknologi Sistem Informasi ) Gunadarma